Dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih mawaris
Dosen penngampu : Abdul Qadir Zaelani,S.H.,I M.A
Kelompok :
1.
Eva
dara puspita : 1621030346
2.
Fitri
adelia :1621030352
3.
Priaki
kurnia sari
:1621030362
4.
Dian
yunita :1621030356
FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN
LAMPUNG
1440H / 2018 M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah
kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan
rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam cipataan-Nya.
Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah Muhammad
Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah.
Penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah
menyelesaikan makalah yang kami beri judul warisan orang tuasebagai tugas mata
kuliah fiqh mawaris. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami
jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami
butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.
Bandar Lampung, 25November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang 1
B.
Rumusan
Masalah 1
C.
Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Waris Orang Tua...................................................................2
B.
Ketentuan
Bagian Dzawil Furudl.............................................................6
C.
Bagian
Yang di Terima oleh Orang Tua...................................................8
BAB III PENUTUP 14
A.
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum hukum waris Islam lahir setidaknya ada tiga hukum kewarisan yang
telah dikenal masyarakat pada masa pra-Islam, yaitu hukum kewarisan Yahudi,
hukum kewarisan Romawi dan hukum kewarisan Adat yang berlaku di masyarakat Arab
pra-Islam. Masing-masing dari ketiganya mempunyai
ketentuan-ketentuan tersendiri.[1]
Rincian pembagian waris yang telah ditetapkan berdasarkan
hukum mirats dalam syari’ah Islam. Tidak ada hukum agama selain Isslam yang
memberikan bagian seperi yang dilakukan oleh syaria’t Islam ini. Hal yang telah
dilakukan oleh para ulama berkenaan dengan masalah pokok ini selama
berabad-abad, sehingga kita kagum akan berjilid-jilid buku yang mereka wariskan
kepada anak cucu. Keinginan untuk mempelajari buku-buku ini berasal dari nabi
yang mengatakan bahwa menguasai hukum kewarisan sama dengan telah menguasai
setengah dari ilmu agama. Kita akan membahas persoalan-persoalan kewarisan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan warisan orang tua?
2. Bagaimana ketentuan pembagian warisan orang
tua?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN WARIS ORANG TUA
.
Dalam
surat al-Nisâ [4]: 7 memberikan ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan
sama-sama berhak atas warisan orang tua ataupun kerabatnya. Ketentuan tersebut
merupakan dekonstruksi terhadap kebiasaan bangsa Arab yang hanya memberikan
warisan kepada laki-laki yang sanggup memanggul senjata membela kehormatan
kabilahnya. Anak kecil, orang tua dan perempuan karena tidak mampu memanggul
senjata maka tidak berhak atas warisan sama sekali.[2]
1. Kedudukan Bapak
Bapak mempunyai dua kemungkinan dalam mewaris. Al-Qur’an
sendiri yang menentukan sedemikian itu. Bapak dapat bertindak sebagai dzul
faraa-idh, yaitu kalau dia didampingi anak pewaris dalam mewaris. Bapak akan
menjadi dzul qarabat apabila tidak didampingi oleh anak pewaris walau ada anak
pewaris lai yang sama-sama mewaris
bersamanya, seperti ibu, janda atau duda atau saudara. Saudara dapat sama-sama
mewarisi dengan bapak dalam satu kasus menurut ajaran bilateral.tetapi patrilinial
bapak meng-hijab saudara.
a. Hubungan anak laki-laki dengan bapak dan
hubungan bapak dengan saudara.
Al-Qur’an surah Al-Nissa’ ayat 11 berbunyi: “kamu tidak
tahu manakah di antara bapak kamu dan anak kamu yang lebih dekat kepada kamu
tentang kemanfaatannya.”
Karna ayat ini berkenaan dengan kewarisan, maka dari ayat
itu dapat ditarik kehendaknya untuk menyatakan bahwa bapak dan anak seseorang
itu dapat bersama-sama mewaris dalam satu kasus. Dalam hukum kewarisan Islam,
sama seperti anak maka bapak mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Bapak banyak
terpengaruh oleh adanya anak si pewaris. Tidak adanya anak, menyebabkan
kedudukan bapak akan menjadi terkuat, yaitu dzul qarabat, ahli waris
yang mendapat bagian yang terbuka. Adanya anak merubah kedudukan bapak menjadi dzu
faraa-idh dengan mendapat bagian tertentu yaitu 1/6 harta peninggalan.
Dari ketentuan itu, bahwa walaupun anak dengan bapak
sama-sama kemanfaatannya kepada seseorang, dalam hal mewaris sama-sama dapat
mewaris secara serentak dan sama-sama masuk satu kelompok keutamaan, tetapi ada
sedikit lebih kuat kedudukan anak dalam memperoleh harta peninggalan terbanding
bapak, yaitu adanya anak mempengaruhi kedudukan anak dalam hal mewaris,
walaupun dalam jumlah bagian perolehan adanya bagian yang diperoleh oleh bapak
tentu akan mengurangi sebagian perolehan anak, tetapi keudukan anak adalah
tetap.
Dalam hal tidak ada anak, kedudukan bapak si pewaris
menaik sedikit. Menjadi oraang yang terkuat sekarang. Dia naik menjadi dzul
qarabat, ahli waris yang mendapat bagian terbuka. Keadaan anak laki-laki
yang menurut ketentuan mempunyai kedudukan terkuat sebagai dzul qarabat sekarang
dimiliki oleh bapak.
Hubungan anak laki-laki dengan bapak tercemin kembali
dalam hubungan bapak dengan saudara laki-laki. Yang pertama mempengaruhi
kedudukan yang kedua dalam warisan, anak laki-laki mempengaruhi kedudukan bapak
dan bapak mempengaruhi kedudukan saudara laki-laki.[3]
2. Kedudukan Ibu
Ibu tetap mewaris sebagai dzul faraa-idh. Dijamin
memperoleh 1/6 atau 1/3 atau 1/6 harta peninggalan. Yang pasti merubah-rubah
jumlah perolehan ibu adalan anak atau saudara-saudara pewaris. Sedangkan ada
atau tidak adanya duda atau janda tidak mempengaruhi perolehan ibu. Adanya
bapak yang ikut mewaris bersama ibu dalam suatu kasus tidak mempengaruhi
perolehan dan kedudukan ibu menurut ajaran kewarisan bilateral. Sedangkan
menurut ajaran sebagian penganut kewarisan patrilinial adaya bapak akan
melahirkan istilah “tsulutsul-baaqi” atau “sepertiga sisa”, walaupun tidak
dianut oleh semua peganut ajaran patrilinial itu.
a.
Ibu dipengaruhi oleh adanya anak
Dengan adanya anak pewaris (walad) baik anak perempuan
maupun anak laki-laki maka perolehan ibu pewaris yang terjamin sebagai dzul
faraa-idh itu, menurut dari 1/3 menjadi 1/6 harga peninggalan. Tentulah bagian
yang dikurangi dari ibu itu diperuntukan bagi anak tadi, sehingga pada umumnya
perolehan anak akan lebih banyak dari perolehan ibu dalam suatu pewarisan.
Dalam pengertian anak yang mempengaruhi perolehan ibu itu, termasuk juga
turunan anak, baik turunan anak perempuan maupun turunan anak laki-laki, karena
turunan anak-anak itu hanya meneruskan menerima apa yang tadinya akan diterima
oleh anak atau orang tua itu.
b.
Hubunngan perolehan ibu dengan adanya saudara-saudara
Yang di atur hanyalah pengaruh adanya ikhwatun (saudara
atau saudara-saudara) atas perolehan ibu. Kalau tidak ada ikhwatun, maka ibu
akan memperoleh 1/3 harta peninggalan (yaitu juga kalau tidak ada anak si
pewaris). Sedangkan kalau ada ikhwatun maka perolehan ibu akan turun menjadi
1/6 harta peninggalan saja.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari ketentuan itu
tentulah bagian yang dikurangkan dari perolehan ibu akan dilimpahkan kepada
orang lain. Orang ain tempat melimpahkan itu kita simpulkan termasuk di
antaranya orang yang mempengaruhi dalam bentuk mengurangi perolehan ibu itu
yaitu ikhwatun tadi.
Walaupun hal ini tidak nyata tertulis dalam garis hukum ini tetapi dapat
disimpulkan sedemikian. Kalau tidak, kenapa saudara-saudara itu tadi yang
dinyatakan mempengaruhi mempersedikit perolah ibu itu.
Kesimpulan lain yang dapat kita tarik dari garis hukum
pengaruh adanya ikhwatun atas perolehan ibu ialah dapatnya sama-sama mewaris
antara ibu dan saudara. Yang satu tidak menutup yang lainnya.
Pendapat ini dapat menuntun kita kepada pemikiran yang
lebih luas, bahwa saudara si pewaris dengan orang tua si pewaris dapat
sama-sama mewaris. Yang satu tidak menutup yang lainnya, tetapi dapat
mempengaruhi perolehan yang lainnya. Saudara termaksud bisa saja saudara
laki-laki atau saudara perempuan. Orang tua itu dapat saja orang tua perempuan
(ibu) dan dapat pula orang tua laki-laki (bapak).
Dalam pada itu kedudukan ibu sebagai dzul faraa-idh tidak
dapat dipengaruhi oleh adanya saudara. Ibu akan tetap berkedudukan sebagai dzul
faraa-idh tidak akan berubah dengan ada atau tidak adanya anak atau walad si
pewaris. Pengaruh adanya anak juga hanya mengurangi perolehan ibu yang dzul
faraa-idh itu. Sama seperti pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya
saudara-saudara mengurangi dari 1/3 menjadi 1/6.
c.
Perolehan ibu dalam hubungan dengan bapak dalam ajaran “tsulutsul-baaqi” atau
“sepertiga sisa”.
Telah kita lihat diatas, bahwa ibu kalau tidak ada anak
pewaris, tidak ada saudara-saudara pewaris, walaupun ada bapak pewaris, maka
ibu ditentukan mendapat 1/3 harta peninggalan. Dalam hal yang sedemikian itu
kalau kita lihat kasus-kasus, penyelesaiannya akan memperlihatkan bahwa ibu
mendapat lebih besar dari bapak. Misalnya kalau berkumpul ibu itu dengan bapak
dan duda pewaris, maka akan terjadilah duda mendapat ½ atau 3/6 harta peninggalan, ibu 1/3 atau 2/6 harta
peninggalan dan bapak sebagai pendapat sisa maka akan dapat 1/6 harta
peninggalan. Maka si ibu akan mendapat lebih banyak dari bapak pewaris. Hal ini
tidak benar menurut pendapat sebagai ahli kewarisan patrinial, dan untuk itu
ada penyelesaian dengan “tsulutsul-baaqi”. Maksudnya iyalah 1/3 yang akan
diperoleh oleh ibu itu adalah seperti
dari sisa. Kalau tidak ada ahli waris lain yang mendapat, jadi hanya ibu
dan bapak saja, maka ibu dapat 1/3 harta
peninggalan dan bapak sisa yaitu 2/3 harta peninggalan. [4]
B. KETENTUAN BAGIAN DZAWUL FURUDL
1. Ketentuan Bagian Ayah
Ketentuan bagian ayah ada 3 macam:
1.
Mendapat 1/6=apabila bersama-sama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki.
2.
Mendapat 1/6 dan ashabah: apabila sama-sama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.
3.
Menjadi ashabah , apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki .
Sebetulnya ayah
adalah termasuk ahli waris ashabah, akan tetapi karena ia juga mempunyai bagian tertentu sebagaimana ahli waris dzawul
furudl, maka tidak ada halangan kiranya kalau dimasukkan juga dalam kelompok
waris dzawul furudl.
Contoh dari ketentuan no 2:
a.
Asal masalah = 6
1 anak perempuan (1/2) =3
Ayah (1/3) + ashabah = 1+2=3
Jumlah = 6
b.
Asal masalah = 6
2 anak perempuan (2/3) = 4
Ayah 1/6 + ashabah = 1+1 =2
Jumlah =
6
2. Ketentuan Bagian Ibu
Ketentuan nya ada 3 macam:
1.
Mendapat 1/6 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki
atau dua orang saudara baik seibu seayah atau seayah ataupun seibu saja atau
lebih.
2.
1/3 apabila tidak ada anak, cucu dari anak laki-laki ataupun dua orang
lebih saudara seperti tersebut diatas.
3.
Mendapat 1/3 ketinggalan, apabila bersama-sama dengan ayah beserta suami
atau istri .
Menurut ibnu abbas, bahwa yang dapat merubah ketentuan
bagian Ibu dari 1/3 menjadi 1/6 adalah 3 orang saudara bukan dua orang saudara
atau lebih. Karena dalam surat an-nissa ayat 11 tersebut adalah berbunyi
“fauqad snataini” = lebih dari dua(2). Tetapi menurut Ali r.a. dan Ibnu Masud
dan kebanyakan ulama adalah sebagaimana ketentuan diatas.[5]
Contoh ketentuan no 1:
a.
Asal masalah =
6
Ibu (1/6) =
1
Dua saudara perempuan seibu seayah (2/3) =
4
Paman (ashabah) =
1
Jumlah =
6
Contoh ketentuan no 3:
Asal masalah =
6
Suami (1/2) =
3
Ibu (1/3) ketinggalan =
1
Ayah (ashabah) =
2
Jumlah =
6
C. BAGIAN YANG DI TERIMA OLEH ORANG TUA
1.
Hak orang tua telah ditentukan dibanyak ayat al quran.Sejauh bagian orang
tua dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh anak mereka yang meninggal dunia,
masing-masing orang tua akan mendapatkan 1/6 bagian warisan , manakala si mayit
itu meninggalkan anak apabila kedua orang tua itu masih hidup dan ada beberapa
anak yang ditinggalkan, bapak dan ibu mendapat bagain masing-masing 1/6.
Apabila salah satu saja yang masih hidup baik bapak maupun ibu maka dia
mendapatkan 1/6 harta peninggalan , dan sisanya dibagikan kepada anak si mayit.
2.
Apabila yang meninggal dunia tidak memiliki anak, ahli warisnya hanya orang
tua, ibu akan mendapatkan 1/3 bagian dan bapak akan mendapat 2/3 bagian.
3.
Apabila yang meninggal itu tidak memiliki anak kecuali hanya meninggalkan
saudara lelaki dan saudara perempuan, ibunya akan mendapatakan 1/6 bagian dan
bapak mendapatkan sisanya. Bapak mendapatkan sisanya karena tidak diberi
jaminan.
4.
Prinsip yang sama seperti yang kita bahas sebelumnya bahwa pembagian waris
itu dilakukan sesudah dilunasinya harta pusaka dan hutang-hutangnya, termasuk
biaya pemakaman, harus dibayar terlebih dahulu sipeninggal si mayit.
5.
Ajaran al-quran juga menjelaskan bahwa anak-anak dan kedua orang tua si
mayit mendapat bagian jikalau mereka masih hidup dan akan ditentukan jumlahnya
sesuai dengan pembagian. Kedua orang tua dan anak-anak yang berhubungan dekat
dengan kamu,dan dalam hal mendapat keuntungan didunia ini dan diakhirat.Seorang
tidak mengetahui seperti yang telah ditetapkan dalam al-quran. [6]
Berikut ini adalah ajaran alquran berkenaan dengan
bagianwarisan suami atau istri si mayit:
surat an-nisa (4) :12
“ Dan bagimu (suami istri) ½ dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat ¼ dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
sesudah hutangya dibayar. Para istri memperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri
memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang suaudara
perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6
harta .Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dari yang 1/3 itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau dibayar sesudah utang-utang nya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah meneptapkan yang demikian itu
sebagai syariat yang benar-benar dari allah dan allah maha mengetahui lagi maha
penyantun. (an-nisa (4):12)”.
1. Bagian Bapak
Bapak bersama ibu dan istri atau suami, bapak mendapat
sisa(ashabah) setelah bagian istri dan ibu diberikan menurut ummariyyatani, yang akan segera dibicarakan.
Bila tak seorang pun ahli waris lain, bapak akan mendapat semua harta
peninggalan. Bapak juga mendapat 1/6 bagian ditambah dengan ashabah manakala
ada keturunan.
2. Bagian Ibu
Seperti kasus bapak dan anak-anak., ibu juga mendapat 1/6
bagian peninggalan. Namun, ibu mendapat 1/6 bagian bila ada dua saudara
laki-laki atau lebih dan dua saudara perempuan atau lebih, bahkan bila mereka
seibu, sekandung, seayah, atau campuran, tetapi bila seorang saja yang tidak
mengikatnya untuk mendapatkan 1/6 bagian peninggalan yang ditinggalkan.
Ibu akan mendapatkan 1/3 bagian
ashabah dalam kasus dimana ibu bersama-sama dengan bapak, istri atau suami.
Setelah mengambil bagian suami atau istri dari sisa harta peninggalan, ibu akan
mendapat bagian 1/3 peninggalan, sementara bapak akan mendapatkan bagian sisa
berdasarkan kasus ummariyyatani. Dengan bahasan ini, maka penting bagi
kita untuk mendalami perihal ummariyyatani.
3. Kasus ummariyyatani
Kasus ummariyyatani
terjadi selama kekhalifahan ummar bin khattab,khalifah kedua, ketika beliau
memutuskan kasus kewarisan antara bapak, ibu, dan suami dan antara bapak, ibu,
dan istri. Hal ini dirujukkan sebagai alghrawani
ll.
Yang perlu dicatat dalam kasus
ini adalah pembagian ibu ketika ada:
1. Ibu, bapak, dan suami.
2. Ibu, bapak, dan istri.
Dalam kondisi normal, kita telah mengetahui pembagian 1/6 atau 1/3 harta
peninggalan. Akan tetapi, pertimbangan kasus ummariyyatani, akan berbeda
dengan ibu. Dalam kasus ini, ibu akan mendapatkan 1/3 bagian sisa setelah
dilaksanakan pembagian warisan kepada suami atau istri.
Bapaksuami ibu bapak ibu istri
Sisa ½ 1/3 dari sisa sisa
1/3 dari sisa-sisa ¼
Dalam keadaan biasa, ada bapak, ibu, dan suami atau istri , pembagian
warisannya seperti dibawah ini:
Bapak suami ibu bapak ibu
istri
Sisa ½ 1/3 sisa
1/3
1/4
1 3 2 5 4 3
Jika orang cermat memperhatikan contoh pertama, akan
melihat bahwa bagian ibu lebih besar ketimbang bagian bapak. Dalam aturan normal, seorang perempuan bersama dengan seorang
lelaki, bagian orang lelaki adalah dua kali bagian orang perempuan seperti
dalam kasus anak lelaki dan perempuan atau saudara lelaki dan perempuan atau
bagian itu sama seperti dalam kasus bapak dan ibu jika ada anak.
Dalam contoh ke-2 juga
dalam aturan normal juga tidak berlaku, sebab bagian ibu begitu dekat dengan
bagian bapak.
Ibu akan mendapat 1/3,
sementara bapak mendapat sisa. Pembagian itu berdasarakan al-quran yang
menyatakan bahwa bapak mendapat bagian wariasan, ibu mendapat 1/3 dan bapak
mendapat 2/3 bagian harta peninggalan. Hal ini hanya berlaku bila bapak dan ibu
sama-sama mendapat warisan. Akan tetapi, dalam kasus ketika mereka bersama
suami atau istri, maka ibu akan mendapatkan 1/3 bagian dari sisa pembagian.
Beberapa sahabat ulama berpendapat bahwa aturan al-quran mesti tidak boleh
ditinggalkan sama sekali, al-quran menyebutkan bahwa tidak adanya anak dan saudara
laki-laki atau saudara perempuan, ibu akan mendapat 1/3 harta peninggalan. Maka
aturan ini harus dilaksanakan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-quran .
Ibnu sirin menyetujui
pendapat ummar bin khttab tentang contoh pertama diatas, dimana bapak bersama
ibu dan suami, tetapi tidak menerima
contoh kedua ketika bapak bersama ibu dan istri berkenaan dengan kasus ini
seperti yang diperolehnya bahwa bapak mendapatan warisan lebih banyak ketimbang
ibu. Maka menurutnya , aturan itu harus ditolak. [7]
Bapak ibu suami
Sisa 1/3 ½ menurut
ibnu abbas
2 4 6
Bapak ibu suami
Sisa 1/3 dari sisa ½ menurut
ummarriyati
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ketentuan Bagian Ayah
Ketentuan bagian ayah ada 3 macam:
1.
Mendapat 1/6=apabila bersama-sama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki.
2.
Mendapat 1/6 dan ashabah: apabila sama-sama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki.
3.
Menjadi ashabah , apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
Ketentuan Bagian Ibu
Ketentuan nya ada 3 macam:
1.
Mendapat 1/6 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki
atau dua orang saudara baik seibu seayah atau seayah ataupun seibu saja atau
lebih.
2.
1/3 apabila tidak ada anak, cucu dari anak laki-laki ataupun dua orang
lebih saudara seperti tersebut diatas.
Mendapat 1/3 ketinggalan
DAFTAR PUSTAKA
Abdur
Rahman,Hudud dan Kewarisan(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996)
Moh.Anwar,Hukum Waris dalam Islam
dan Masalah-Masalahnya(Surabaya:Usana Offset Printing,1981)
Sajuti Thalib,Hukum Kewarisan
Islam Indonesia(Jakarta:Sinar Grafika,2000)
Sakirman, Convergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam, Al-Adalah.
Vol. XIII, No.2,Desember 2016, hlm.156-158
[1] Sakirman, Convergensi Pembagian Harta Waris dalam
Hukum Islam, Al-Adalah. Vol. XIII, No.2,Desember 2016, hlm.156
[5]Moh.Anwar,HukumWarisdalam Islam danMasalah-Masalahnya(Surabaya:Usana
Offset Printing,1981).hlm.59