Selasa, 11 Desember 2018

Makalah Tentang Waris Terhadap Orang Tua dalam Fiqih Mawaris



  WARIS ORANG TUA



Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih mawaris
Dosen penngampu : Abdul Qadir Zaelani,S.H.,I M.A




Hasil gambar untuk logo uin lampung


Kelompok :
1.      Eva dara puspita       : 1621030346
2.      Fitri adelia                  :1621030352
3.      Priaki kurnia sari      :1621030362
4.      Dian yunita                :1621030356



FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN
 LAMPUNG
1440H / 2018 M


KATA PENGANTAR

     Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam cipataan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah.
Penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang kami beri judul warisan orang tuasebagai tugas mata kuliah fiqh mawaris. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.





                                                                  Bandar Lampung, 25November 2018


                                                                                                Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                                              1
B.     Rumusan Masalah                                                                         1
C.     Tujuan                                                                                           1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Waris Orang Tua...................................................................2
B.     Ketentuan Bagian Dzawil Furudl.............................................................6
C.     Bagian Yang di Terima oleh Orang Tua...................................................8
BAB III PENUTUP                                                                                      14
A.    Kesimpulan                                                                                   14
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebelum hukum waris Islam lahir setidaknya ada tiga hukum kewarisan yang telah dikenal masyarakat pada masa pra-Islam, yaitu hukum kewarisan Yahudi, hukum kewarisan Romawi dan hukum kewarisan Adat yang berlaku di masyarakat Arab pra-Islam. Masing-masing dari ketiganya mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri.[1]
Rincian pembagian waris yang telah ditetapkan berdasarkan hukum mirats dalam syari’ah Islam. Tidak ada hukum agama selain Isslam yang memberikan bagian seperi yang dilakukan oleh syaria’t Islam ini. Hal yang telah dilakukan oleh para ulama berkenaan dengan masalah pokok ini selama berabad-abad, sehingga kita kagum akan berjilid-jilid buku yang mereka wariskan kepada anak cucu. Keinginan untuk mempelajari buku-buku ini berasal dari nabi yang mengatakan bahwa menguasai hukum kewarisan sama dengan telah menguasai setengah dari ilmu agama. Kita akan membahas persoalan-persoalan kewarisan ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan warisan orang tua?
2.      Bagaimana ketentuan pembagian warisan orang tua?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    KEDUDUKAN WARIS ORANG TUA
.
Dalam surat al-Nisâ [4]: 7 memberikan ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas warisan orang tua ataupun kerabatnya. Ketentuan tersebut merupakan dekonstruksi terhadap kebiasaan bangsa Arab yang hanya memberikan warisan kepada laki-laki yang sanggup memanggul senjata membela kehormatan kabilahnya. Anak kecil, orang tua dan perempuan karena tidak mampu memanggul senjata maka tidak berhak atas warisan sama sekali.[2]

1.      Kedudukan Bapak
Bapak mempunyai dua kemungkinan dalam mewaris. Al-Qur’an sendiri yang menentukan sedemikian itu. Bapak dapat bertindak sebagai dzul faraa-idh, yaitu kalau dia didampingi anak pewaris dalam mewaris. Bapak akan menjadi dzul qarabat apabila tidak didampingi oleh anak pewaris walau ada anak pewaris lai  yang sama-sama mewaris bersamanya, seperti ibu, janda atau duda atau saudara. Saudara dapat sama-sama mewarisi dengan bapak dalam satu kasus menurut ajaran bilateral.tetapi patrilinial bapak meng-hijab saudara.
a.       Hubungan anak laki-laki dengan bapak dan hubungan bapak dengan saudara.
Al-Qur’an surah Al-Nissa’ ayat 11 berbunyi: “kamu tidak tahu manakah di antara bapak kamu dan anak kamu yang lebih dekat kepada kamu tentang kemanfaatannya.”
Karna ayat ini berkenaan dengan kewarisan, maka dari ayat itu dapat ditarik kehendaknya untuk menyatakan bahwa bapak dan anak seseorang itu dapat bersama-sama mewaris dalam satu kasus. Dalam hukum kewarisan Islam, sama seperti anak maka bapak mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Bapak banyak terpengaruh oleh adanya anak si pewaris. Tidak adanya anak, menyebabkan kedudukan bapak akan menjadi terkuat, yaitu dzul qarabat, ahli waris yang mendapat bagian yang terbuka. Adanya anak merubah kedudukan bapak menjadi dzu faraa-idh dengan mendapat bagian tertentu yaitu 1/6 harta peninggalan.
Dari ketentuan itu, bahwa walaupun anak dengan bapak sama-sama kemanfaatannya kepada seseorang, dalam hal mewaris sama-sama dapat mewaris secara serentak dan sama-sama masuk satu kelompok keutamaan, tetapi ada sedikit lebih kuat kedudukan anak dalam memperoleh harta peninggalan terbanding bapak, yaitu adanya anak mempengaruhi kedudukan anak dalam hal mewaris, walaupun dalam jumlah bagian perolehan adanya bagian yang diperoleh oleh bapak tentu akan mengurangi sebagian perolehan anak, tetapi keudukan anak adalah tetap.
Dalam hal tidak ada anak, kedudukan bapak si pewaris menaik sedikit. Menjadi oraang yang terkuat sekarang. Dia naik menjadi dzul qarabat, ahli waris yang mendapat bagian terbuka. Keadaan anak laki-laki yang menurut ketentuan mempunyai kedudukan terkuat sebagai dzul qarabat sekarang dimiliki oleh bapak.
Hubungan anak laki-laki dengan bapak tercemin kembali dalam hubungan bapak dengan saudara laki-laki. Yang pertama mempengaruhi kedudukan yang kedua dalam warisan, anak laki-laki mempengaruhi kedudukan bapak dan bapak mempengaruhi kedudukan saudara laki-laki.[3]
2.      Kedudukan Ibu
Ibu tetap mewaris sebagai dzul faraa-idh. Dijamin memperoleh 1/6 atau 1/3 atau 1/6 harta peninggalan. Yang pasti merubah-rubah jumlah perolehan ibu adalan anak atau saudara-saudara pewaris. Sedangkan ada atau tidak adanya duda atau janda tidak mempengaruhi perolehan ibu. Adanya bapak yang ikut mewaris bersama ibu dalam suatu kasus tidak mempengaruhi perolehan dan kedudukan ibu menurut ajaran kewarisan bilateral. Sedangkan menurut ajaran sebagian penganut kewarisan patrilinial adaya bapak akan melahirkan istilah “tsulutsul-baaqi” atau “sepertiga sisa”, walaupun tidak dianut oleh semua peganut ajaran patrilinial itu.

a.       Ibu dipengaruhi oleh adanya anak
Dengan adanya anak pewaris (walad) baik anak perempuan maupun anak laki-laki maka perolehan ibu pewaris yang terjamin sebagai dzul faraa-idh itu, menurut dari 1/3 menjadi 1/6 harga peninggalan. Tentulah bagian yang dikurangi dari ibu itu diperuntukan bagi anak tadi, sehingga pada umumnya perolehan anak akan lebih banyak dari perolehan ibu dalam suatu pewarisan. Dalam pengertian anak yang mempengaruhi perolehan ibu itu, termasuk juga turunan anak, baik turunan anak perempuan maupun turunan anak laki-laki, karena turunan anak-anak itu hanya meneruskan menerima apa yang tadinya akan diterima oleh anak atau orang tua itu.
b.      Hubunngan perolehan ibu dengan adanya saudara-saudara
Yang di atur hanyalah pengaruh adanya ikhwatun (saudara atau saudara-saudara) atas perolehan ibu. Kalau tidak ada ikhwatun, maka ibu akan memperoleh 1/3 harta peninggalan (yaitu juga kalau tidak ada anak si pewaris). Sedangkan kalau ada ikhwatun maka perolehan ibu akan turun menjadi 1/6 harta peninggalan saja.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari ketentuan itu tentulah bagian yang dikurangkan dari perolehan ibu akan dilimpahkan kepada orang lain. Orang ain tempat melimpahkan itu kita simpulkan termasuk di antaranya orang yang mempengaruhi dalam bentuk mengurangi perolehan ibu itu yaitu ikhwatun tadi.
Walaupun hal ini tidak nyata tertulis dalam garis hukum ini tetapi dapat disimpulkan sedemikian. Kalau tidak, kenapa saudara-saudara itu tadi yang dinyatakan mempengaruhi mempersedikit perolah ibu itu.
Kesimpulan lain yang dapat kita tarik dari garis hukum pengaruh adanya ikhwatun atas perolehan ibu ialah dapatnya sama-sama mewaris antara ibu dan saudara. Yang satu tidak menutup yang lainnya.
Pendapat ini dapat menuntun kita kepada pemikiran yang lebih luas, bahwa saudara si pewaris dengan orang tua si pewaris dapat sama-sama mewaris. Yang satu tidak menutup yang lainnya, tetapi dapat mempengaruhi perolehan yang lainnya. Saudara termaksud bisa saja saudara laki-laki atau saudara perempuan. Orang tua itu dapat saja orang tua perempuan (ibu) dan dapat pula orang tua laki-laki (bapak).
Dalam pada itu kedudukan ibu sebagai dzul faraa-idh tidak dapat dipengaruhi oleh adanya saudara. Ibu akan tetap berkedudukan sebagai dzul faraa-idh tidak akan berubah dengan ada atau tidak adanya anak atau walad si pewaris. Pengaruh adanya anak juga hanya mengurangi perolehan ibu yang dzul faraa-idh itu. Sama seperti pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya saudara-saudara mengurangi dari 1/3 menjadi 1/6.
c.       Perolehan ibu dalam hubungan dengan bapak dalam ajaran “tsulutsul-baaqi” atau “sepertiga sisa”.
Telah kita lihat diatas, bahwa ibu kalau tidak ada anak pewaris, tidak ada saudara-saudara pewaris, walaupun ada bapak pewaris, maka ibu ditentukan mendapat 1/3 harta peninggalan. Dalam hal yang sedemikian itu kalau kita lihat kasus-kasus, penyelesaiannya akan memperlihatkan bahwa ibu mendapat lebih besar dari bapak. Misalnya kalau berkumpul ibu itu dengan bapak dan duda pewaris, maka akan terjadilah duda mendapat ½ atau 3/6  harta peninggalan, ibu 1/3 atau 2/6 harta peninggalan dan bapak sebagai pendapat sisa maka akan dapat 1/6 harta peninggalan. Maka si ibu akan mendapat lebih banyak dari bapak pewaris. Hal ini tidak benar menurut pendapat sebagai ahli kewarisan patrinial, dan untuk itu ada penyelesaian dengan “tsulutsul-baaqi”. Maksudnya iyalah 1/3 yang akan diperoleh oleh ibu itu adalah  seperti dari sisa. Kalau tidak ada ahli waris lain yang mendapat, jadi hanya ibu dan  bapak saja, maka ibu dapat 1/3 harta peninggalan dan bapak sisa yaitu 2/3 harta peninggalan. [4]

B.     KETENTUAN BAGIAN DZAWUL FURUDL

1.      Ketentuan Bagian Ayah
Ketentuan bagian ayah ada 3 macam:
1.      Mendapat 1/6=apabila bersama-sama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2.      Mendapat 1/6 dan ashabah: apabila sama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
3.      Menjadi ashabah , apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki .
 Sebetulnya ayah adalah termasuk ahli waris ashabah, akan tetapi karena ia juga mempunyai  bagian tertentu sebagaimana ahli waris dzawul furudl, maka tidak ada halangan kiranya kalau dimasukkan juga dalam kelompok waris dzawul furudl.
Contoh dari ketentuan no 2:
a.       Asal masalah                     = 6
1 anak perempuan (1/2)     =3
Ayah (1/3) + ashabah        = 1+2=3         
 Jumlah                              = 6
b.      Asal masalah                     = 6
2 anak perempuan (2/3)     = 4
Ayah 1/6 + ashabah          = 1+1 =2
Jumlah                               = 6
2.      Ketentuan Bagian Ibu
Ketentuan nya ada 3 macam:
1.      Mendapat 1/6 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang saudara baik seibu seayah atau seayah ataupun seibu saja atau lebih.
2.      1/3 apabila tidak ada anak, cucu dari anak laki-laki ataupun dua orang lebih saudara seperti tersebut diatas.
3.      Mendapat 1/3 ketinggalan, apabila bersama-sama dengan ayah beserta suami atau istri .
Menurut ibnu abbas, bahwa yang dapat merubah ketentuan bagian Ibu dari 1/3 menjadi 1/6 adalah 3 orang saudara bukan dua orang saudara atau lebih. Karena dalam surat an-nissa ayat 11 tersebut adalah berbunyi “fauqad snataini” = lebih dari dua(2). Tetapi menurut Ali r.a. dan Ibnu Masud dan kebanyakan ulama adalah sebagaimana ketentuan diatas.[5]
Contoh ketentuan no 1:
a.       Asal masalah                                                         = 6
Ibu (1/6)                                                                = 1
Dua saudara perempuan seibu seayah (2/3)          = 4
Paman (ashabah)                                                   = 1
Jumlah                                                                   = 6
Contoh ketentuan no 3:
Asal masalah                                                         = 6
Suami (1/2)                                                            = 3
Ibu (1/3) ketinggalan                                             = 1
Ayah (ashabah)                                                     = 2
Jumlah                                                                   = 6      

C.    BAGIAN YANG DI TERIMA OLEH ORANG TUA

1.      Hak orang tua telah ditentukan dibanyak ayat al quran.Sejauh bagian orang tua dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh anak mereka yang meninggal dunia, masing-masing orang tua akan mendapatkan 1/6 bagian warisan , manakala si mayit itu meninggalkan anak apabila kedua orang tua itu masih hidup dan ada beberapa anak yang ditinggalkan, bapak dan ibu mendapat bagain masing-masing 1/6. Apabila salah satu saja yang masih hidup baik bapak maupun ibu maka dia mendapatkan 1/6 harta peninggalan , dan sisanya dibagikan kepada anak si mayit.
2.      Apabila yang meninggal dunia tidak memiliki anak, ahli warisnya hanya orang tua, ibu akan mendapatkan 1/3 bagian dan bapak akan mendapat 2/3 bagian.
3.      Apabila yang meninggal itu tidak memiliki anak kecuali hanya meninggalkan saudara lelaki dan saudara perempuan, ibunya akan mendapatakan 1/6 bagian dan bapak mendapatkan sisanya. Bapak mendapatkan sisanya karena tidak diberi jaminan.
4.      Prinsip yang sama seperti yang kita bahas sebelumnya bahwa pembagian waris itu dilakukan sesudah dilunasinya harta pusaka dan hutang-hutangnya, termasuk biaya pemakaman, harus dibayar terlebih dahulu sipeninggal si mayit.
5.      Ajaran al-quran juga menjelaskan bahwa anak-anak dan kedua orang tua si mayit mendapat bagian jikalau mereka masih hidup dan akan ditentukan jumlahnya sesuai dengan pembagian. Kedua orang tua dan anak-anak yang berhubungan dekat dengan kamu,dan dalam hal mendapat keuntungan didunia ini dan diakhirat.Seorang tidak mengetahui seperti yang telah ditetapkan dalam al-quran. [6]

Berikut ini adalah ajaran alquran berkenaan dengan bagianwarisan  suami atau istri si mayit: surat an-nisa (4) :12
“ Dan bagimu (suami istri) ½ dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika  mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat ¼ dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah hutangya dibayar. Para istri memperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang suaudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta .Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dari yang 1/3 itu,  sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau dibayar sesudah utang-utang nya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah meneptapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari allah dan allah maha mengetahui lagi maha penyantun. (an-nisa (4):12)”.
1.      Bagian Bapak
Bapak bersama ibu dan istri atau suami, bapak mendapat sisa(ashabah) setelah bagian istri dan ibu diberikan menurut ummariyyatani, yang akan segera dibicarakan. Bila tak seorang pun ahli waris lain, bapak akan mendapat semua harta peninggalan. Bapak juga mendapat 1/6 bagian ditambah dengan ashabah manakala ada keturunan.
2.      Bagian Ibu
Seperti kasus bapak dan anak-anak., ibu juga mendapat 1/6 bagian peninggalan. Namun, ibu mendapat 1/6 bagian bila ada dua saudara laki-laki atau lebih dan dua saudara perempuan atau lebih, bahkan bila mereka seibu, sekandung, seayah, atau campuran, tetapi bila seorang saja yang tidak mengikatnya untuk mendapatkan 1/6 bagian peninggalan yang ditinggalkan.
      Ibu akan mendapatkan 1/3 bagian ashabah dalam kasus dimana ibu bersama-sama dengan bapak, istri atau suami. Setelah mengambil bagian suami atau istri dari sisa harta peninggalan, ibu akan mendapat bagian 1/3 peninggalan, sementara bapak akan mendapatkan bagian sisa berdasarkan kasus ummariyyatani. Dengan bahasan ini, maka penting bagi kita untuk mendalami perihal ummariyyatani.
3.      Kasus ummariyyatani
Kasus ummariyyatani terjadi selama kekhalifahan ummar bin khattab,khalifah kedua, ketika beliau memutuskan kasus kewarisan antara bapak, ibu, dan suami dan antara bapak, ibu, dan istri. Hal ini dirujukkan sebagai alghrawani ll.
      Yang perlu dicatat dalam kasus ini adalah pembagian ibu ketika ada:
1.      Ibu, bapak, dan suami.
2.      Ibu, bapak, dan istri.
Dalam kondisi normal, kita telah mengetahui pembagian 1/6 atau 1/3 harta peninggalan. Akan tetapi, pertimbangan kasus ummariyyatani, akan berbeda dengan ibu. Dalam kasus ini, ibu akan mendapatkan 1/3 bagian sisa setelah dilaksanakan pembagian warisan kepada suami atau istri.
Bapaksuami ibu                                   bapak               ibu                  istri                 
Sisa     ½       1/3 dari sisa                    sisa     1/3 dari sisa-sisa           ¼

Dalam keadaan biasa, ada bapak, ibu, dan suami atau istri , pembagian warisannya seperti dibawah ini:
Bapak suami ibu          bapak   ibu    istri
Sisa      ½      1/3          sisa      1/3  1/4
1          3          2          5          4          3
Jika orang cermat memperhatikan contoh pertama, akan melihat bahwa bagian ibu lebih besar ketimbang bagian bapak. Dalam aturan  normal, seorang perempuan bersama dengan seorang lelaki, bagian orang lelaki adalah dua kali bagian orang perempuan seperti dalam kasus anak lelaki dan perempuan atau saudara lelaki dan perempuan atau bagian itu sama seperti dalam kasus bapak dan ibu jika ada anak.
            Dalam contoh ke-2 juga dalam aturan normal juga tidak berlaku, sebab bagian ibu begitu dekat dengan bagian bapak. 
            Ibu akan mendapat 1/3, sementara bapak mendapat sisa. Pembagian itu berdasarakan al-quran yang menyatakan bahwa bapak mendapat bagian wariasan, ibu mendapat 1/3 dan bapak mendapat 2/3 bagian harta peninggalan. Hal ini hanya berlaku bila bapak dan ibu sama-sama mendapat warisan. Akan tetapi, dalam kasus ketika mereka bersama suami atau istri, maka ibu akan mendapatkan 1/3 bagian dari sisa pembagian. Beberapa sahabat ulama berpendapat bahwa aturan al-quran mesti tidak boleh ditinggalkan sama sekali, al-quran menyebutkan bahwa tidak adanya anak dan saudara laki-laki atau saudara perempuan, ibu akan mendapat 1/3 harta peninggalan. Maka aturan ini harus dilaksanakan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-quran .
            Ibnu sirin menyetujui pendapat ummar bin khttab tentang contoh pertama diatas, dimana bapak bersama ibu  dan suami, tetapi tidak menerima contoh kedua ketika bapak bersama ibu dan istri berkenaan dengan kasus ini seperti yang diperolehnya bahwa bapak mendapatan warisan lebih banyak ketimbang ibu. Maka menurutnya , aturan itu harus ditolak. [7]
Bapak    ibu   suami                
Sisa       1/3  ½                         menurut ibnu abbas
2          4          6

Bapak        ibu             suami
Sisa      1/3 dari sisa       ½                   menurut ummarriyati






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ketentuan Bagian Ayah
Ketentuan bagian ayah ada 3 macam:
1.      Mendapat 1/6=apabila bersama-sama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2.      Mendapat 1/6 dan ashabah: apabila sama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
3.      Menjadi ashabah , apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
Ketentuan Bagian Ibu
Ketentuan nya ada 3 macam:
1.      Mendapat 1/6 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang saudara baik seibu seayah atau seayah ataupun seibu saja atau lebih.
2.      1/3 apabila tidak ada anak, cucu dari anak laki-laki ataupun dua orang lebih saudara seperti tersebut diatas.
Mendapat 1/3 ketinggalan









DAFTAR PUSTAKA

            Abdur Rahman,Hudud dan Kewarisan(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996)
Moh.Anwar,Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya(Surabaya:Usana Offset Printing,1981)
Sajuti Thalib,Hukum Kewarisan Islam Indonesia(Jakarta:Sinar Grafika,2000)
Sakirman, Convergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam, Al-Adalah. Vol. XIII, No.2,Desember  2016, hlm.156-158



[1] Sakirman, Convergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam, Al-Adalah. Vol. XIII, No.2,Desember  2016, hlm.156
[2] Ibid, hlm.158
[3]SajutiThalib,HukumKewarisan Islam Indonesia(Jakarta:Sinar Grafika,2000),hlm.139

[4]Ibid.hlm.134
[5]Moh.Anwar,HukumWarisdalam Islam danMasalah-Masalahnya(Surabaya:Usana Offset Printing,1981).hlm.59

[6]AbdurRahman,HududdanKewarisan(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996),hlm.132

[7]Ibid.hlm137